“Ihh, jelek ah! Masa buat cowok ada warna pink-nya gitu. Selera lo tuh jelek banget sih, Bin!” selorohku tanpa memperhatikan cowok tinggi di sebelahku yang kini sudah mulai bete.
“Ya udah, lo aja yang pilihin!”
“Kok jadi gue?” ia sudah berlalu. Itu tandanya ia sudah tak peduli sama sekali, dan aku harus menyelesaikan tugas mencari cendramata untuk temannya yang akan pergi ke luar negeri minggu depan. Mataku masih terus mengikuti langkahnya. Kuperhatikan punggungnya dari belakang. Ia menuju ke sebuah Food Court.
Umm.. sekarang jadi gue yang bingung sendiri. Dia selalu begitu. Kalau sudah kesal, berlalu begitu saja dan menyerahkan semuanya padaku. Korban satu-satunya. Single Victim.
Kupanggil ia Abin. Nama sebenarnya sih, Bina. Ya, hanya sekedar membalik kosakata saja. Bisa dibilang, dia itu satu-satunya cowok yang paling aku percaya. Bahkan dibanding Ayahku sendiri. Alasannya satu, dia yang selalu bisa membuatku merasa nyaman. Awal yang cukup aneh sampai aku bisa menjadi sahabatnya. Kita hanya sekedar kenal, bahkan ngobrol pun jarang banget. Super-super jarang. Paling-paling ketemu sekedar saling lempar senyum. Bahkan kadang senyumnya ku banting. Nggak ding! Sampai suatu waktu, dia percaya begitu saja ketika bertemu di perpustakaan curhat tentang wanita-nya. Dari situ, aku terus dan terus menjadi ‘tong sampah’ setianya. Tapi untungnya, dia seorang pembicara yang baik. Pembicara ulung. Suaranya nggak cempreng. Tenang. That’s why aku bisa bertahan mendengarkan semua ceritanya dengan baik.
Setelah mendapatkan barang yang kurasa cocok untuk Abin hadiahkan kepada teman karibnya itu, kubayar, dan berlalu menuju sebuah Food Court. Sekotak jam tangan silver— yang bagi siapa pun yang melihatnya pasti akan mengira kalau harganya lebih mahal dibanding harga aslinya.
Brillian!—kumasukkan ke dalam tas ku.
Abin duduk di salah sudut. Tanpa apa pun di atas mejanya.
“Bin, kalau nggak pesen apa-apa ngapain lo kesini? Bikin malu gue aja!”
“Nih, sekotak jam tangan lux, pasti lebih pantes buat Afrian dibanding kemeja yang ada warna pink-nya tadi. Look, how my shopping instinct, pinter kan gue?” bicaraku panjang hanya dijawab dengan kedipan mata Abin. Suasana kembali tenang. Nggak masalah, dia memang sering begitu. Diam tanpa alasan. Lagi pula, bukannya cowok memang menyukai diam? Sering terfikir olehku, apa Abin pernah ngerasa kesel ya sama gue yang bawel ini? Ah, toh nyatanya ia tak pernah complain.
“Coba gue liat.”
“Mana bisa, Bin. Kan udah langsung dibungkus rapi. Kecuali lo mau ngebungkus kadonya lagi.” Kuangkat alisku, bertanya.
“Yah, gue nggak bisa liat dulu donk.”
“Lo mencurigai selera gue? Udah, nanti juga kalo udah dikasih dan Afrian coba, lo bisa liat.”
Seorang pelayan menghampiri kami setelah dipanggil Abin. Sebelum pelayan itu sempat bertanya,
“Saya pesen Latte satu.” Serobotku.
Sekilas bisa kulihat Abin tersenyum sedikit, “Chocovanilla satu.”
“Itu aja, Mas?” tanya si pelayan tadi lembut, memastikan.
“Iya, itu aja. Makasih mbak.”
“Silahkan ditunggu sebentar pesanannya. Akan segera kami antar.” Kemudian pelayan cantik, tinggi, dan kalau berjalan gemulai itu berlalu.
“Kenapa lo pesen Coffee Latte, Ra?”
“Buat lo. Lo sendiri pesen Chocovanilla buat gue kan?” ucapku dengan wajah menggoda.
“Enak aja, gue emang lagi mau nyoba itu. Abis tiap kesini lo pesen itu, hobi banget kayaknya jadi pengen tau rasanya!”
***
Namanya Nara. Cewek mungil ini sahabat gue dari jaman SMA semester akhir. Aneh emang persahabatan yang terjalin di antara kita. Tapi, Nara itu sahabat yang baik buat gue. Walaupun kadang gue suka ngerasa aneh ama dia. Dia bisa tiba-tiba diem jutaan bahasa, tiba-tiba ngomong ratusan bahasa. Tapi, dia tuh paling ngerti gue. Cewek baik kayak dia belum juga punya cowok, itu juga aneh. Entah tipenya seperti apa, yang gue yakin sih nggak mungkin belum ada satu pun cowok yang nembak atau coba deketin dia. Pernah coba gue tanya, tapi dia malah diem. Atau berusaha ngalihin ke hal laen. Selebihnya, gue males nanya-nanya hal itu lagi.
“Coba sini gue liat kotak jam tangannya. Bungkusnya rapi nggak?” Abin menggenggam puggung tanganku. Memang kotak jam tangan itu sedang aku pegang di atas meja. Seketika kutarik tanganku. Meninggalkan tangannya dan kotak itu diam di atas meja. Aku kaget. Aku tahu Abin pun terkejut.
Satu. Dua. Tiga detik waktu terhenti. Aku hanya diam menatap meja. Aku tahu Abin menatapku aneh. Seisi ruangan itu pun sempat membeku. Seperti tengah memperhatikan kami dalam ‘tiga detik diam’. Untungnya pelayan datang dengan Coffee Latte dan Chocovanilla di atas nampan, mencairkan suasana. Seperti melted chocolate yang mengalir di atas ice cream vanilla yang kuincar, namun diletakkan di hadapan Abin oleh pelayan cantik yang sempat melirik Abin itu. Abin pun tersenyum manis padanya. Huh! Dasar cowok, nggak bisa liat cewek cantik dikit. I notice something, tiga hal yang dilakukan cowok kalau liat cewek cantik lewat apalagi menatapnya, pasti noleh-ngelirik-senyum.
Aku masih memperhatikan Abin, ketika dengan tiba-tiba Abin pun menoleh ke arahku. Seketika aku kaget, sementara Abin menggeser letak Chocovanilla dengan Coffee Latte, yang semula Coffee Latte-Aku, Chocovanilla-Dia. Menjadi Chocovanilla-Aku, Caffee Latte-Dia. Hmmm..
Rupanya Abin sudah mulai pintar. Ia sudah mulai bisa membaca fikiranku. Atau, aku yang tampak ‘mupeng’ ya dari tadi?
“Itu emang sengaja gue pesen buat lo kok dari awal.” Kini ia tersenyum padaku.
“Makasih Abin...” ucapku sambil mengerlingkan mata, menggoda sahabatku itu.
“Justru itu ucapan makasih gue buat lo karena udah bantu gue milihin hadiah buat Afrian.”
“You are welcome. Eh, by the way, kapan si Rian berangkat ke London?”
“Hari Rabu. Tinggal berangkat aja, semua perlengkapan udah di packing rapi.”
“Dia ngambil S2 apa disana, Bin?”
“Apa yah? Gue lupa. Kalau nggak salah Manajemen gitu.” Aku hanya ber-oh panjang.
Aku senang memperhatikan orang hingga hal-hal terkecil. Seperti saat ini, kuperhatikan Abin sedang mengaduk cangkir Latte-nya. Tiga kali putar ke kanan, dua kali ke kiri. Terus berulang. Matanya diam, menatap uliran Latte dalam gelas. Ekspresi Abin selalu lucu buatku. Sesekali ia seruput Latte dari sendok kecil itu. Kemudian menambahkan sedikit gula ke dalamnya. Begitu terus hingga Latte tersisa setengah cangkir. Dan kalau sudah begitu ia akan meletakkan sendok, langsung menyeruput Latte dari cangkir.
Setelah Abin membayar bill-nya dan—sesekali kuperhatikan pelayan cantik tadi menatap Abin—kami berlalu.
***
Kami berjalan di sepanjang jalan di sisi-sisi toko. Tangan kanan Abin meraih kantong plastik kecil berisi kotak silver dari tanganku. Untuk kedua kalinya, Abin menyentuh pelan tanganku. Aku terdiam lagi, tapi langsung melempar jauh pandanganku ke depan mencari-cari sesuatu yang dapat kulihat, sayangnya aku tak menemukan apa-apa. Abin diam menatap ke jalan di hadapan kami. Seketika Abin menghentikan langkahnya di depan sebuah toko. Kami berdiri di hadapan kaca etalase besar. Abin menatap ke dalam kaca itu. Tiba-tiba kurasakan hangat, Abin menggenggam pergelangan tangan kiriku. Seketika , saat itu pula aku menggenggam jemari-jemariku kuat. Abin tak melepasku, terus menggenggam. Jantungku terasa aneh. Aku gugup.
“Bin, itu bagus ya!” reflek, padahal aku sendiri tak tahu apa yang kutunjuk. Oh, No. Itu baju renang.
“Umm... maksud gue motif scetch art-nya itu yang... lucu. I mean, bagus.” Pfiuuh... malu aku. Aku cewek tomboy nunjuk ke arah baju renang, yang motifnya tattoo, dan bilang lucu.
Abin rupanya tak bereaksi apa-apa. Kuperhatikan wajahnya kembali kepada gaun pengantin putih dengan motif berwarna salem di dalam etalase. Ingin rasanya aku melepas genggamannya.
Tapi kuurungkan, aku tahu pandangan datarnya itu.
“Bin, lo pengen liat Tiara pake gaun itu dan berdiri di samping lo ya suatu saat nanti?”
Tiara adalah satu-satunya nama yang menjadi topik tunggal seluruh ceritanya padaku, seluruh cerita hidupnya. Bina, sejak pertama kali bertemu hingga saat ini hanya jatuh cinta pada Tiara. Tiara adalah ‘wanita’nya. Meski ‘wanita’nya itu tak pernah menjawab apa-apa. Entah, sudah berapa kali Bina jatuh cinta pada Tiara. Suatu waktu pernah Bina memberikan Mawar putih segar dengan sebuah surat bertuliskan: ”Aku mencintaimu dengan sederhana”, tapi Tiara mengembalikan semuanya. Bersih tanpa jawaban apa-apa. Aku bingung kenapa ia tega membuat sahabatku kecewa, bahkan ia sendiri sudah tak bisa merasakan kecewa. Bina baik, tinggi, manis, pintar. Apa yang tak bisa Tiara lihat dari Bina? Satu-satunya hal yang membuat Bina bertahan adalah jawaban Tiara. Tiara tak pernah menjawab apa-apa.
Gue pengen liat lo, sahabat gue, pake gaun itu dan berdiri di samping orang yang lo sayang dan sayang banget sama lo, Ra!
Abin hanya tersenyum, senyumnya itu dapat kulihat dari bayangannya yang terpantul di kaca etalase. Kemudian Abin hanya mengacak rambutku, dan berlalu setelah melepas genggamannya.
“Kok lo nggak jawab pertanyaan gue?”
“Ra, sakura apa yang pelit? Sakurata!” Ia bertanya dan menjawab leluconnya sendiri. Kurang cerdas!
“Lo curang!” kupukul bahunya.
Abin diam. Kemudian berkata,
“Sekarang gue tanya. Kalau gue pegang tangan lo begini, kenapa lo jadi gugup?” Abin menggengam pergelangan tanganku lagi, kali ini sangat kuat.
“Apaan sih, sakit Bin!” aku berusaha menarik tanganku. Jelas aku tak bisa.
“Kalau begini?” Abin ganti meraih telapak tanganku,dan menggenggamnya lembut sambil terus berjalan.
Aku hanya diam, memangnya apa yang bisa kujawab. Sebenarnya aku tak nyaman dengan kondisi ini. Abin terus menggenggam tanganku erat. Sementara aku tak menggenggamnya, hanya membiarkannya menggenggamku.
I wanna hold your hand...
I wanna hold your hand.
***
Lama nggak ketemu Bina, kok jadi kangen juga ya rasanya. Kemana aja sih dia. Ngapain aja, sampe lupa sama gue? Dia nggak kangen apa sama gue? Eh, udah lama nggak ngecek e-mail. Sekalian gue kirim e-mail ke Bina aja kali ya.
1 Unread mail
From: @bien@gmail.com
Tittle: Ma’af.
Hah! Apa-apaan ini si Bina?? Ma’af? Setelah sekian minggu, hampir dua bulan nggak ada khabar, tiba-tiba minta ma’af. Pasti ada apa-apa nih! Mana nih imel udah basi lagi, udah seminggu yang lalu.
Open
MorNara.
Sori ya, pagi-pagi gini udah kirim e-mail. Pasti lo bakalan bilang: Kayak nggak ada kerjaan laen aja!
Trus lo bakalan comment juga gini: Apaan sih lo Bin, tumben banget pake acara imel-imelan segala.
Gue udah hafal banget isi kepala lo, Ra. Apa yg lo pikirin sampe yang nggak mungkin lo pikirin, gue tau! Karena emang dari yg penting ampe yg nggk penting pasti lo pikirin. Lo emang aneh Ra. Walaupun aneh, lo tetep sahabat gue. Sahabat yg sarkastik tp manis. Baek tp cynical. Cerewet tp sk diem tiba2. Ajaib deh lo! Kombinasi yg garing tapi okeh punya lah untuk ukuran tong sampah gue.
Kenapa gue jd bahas elo yah?
Apaan sih si Bina, cuma buat ngoceh-ngoceh gitu doang dia pake minta ma’af. Gue udah mikir macem-macem.
Reply
Apaan sih lo, Bin? Nggak banget! Cuma mau ngata-ngatain gue ajjah?!
Btw, bentar lagi ada yang mau ultah. Umm...taun ini mau traktiran apa ya gue?
Nggak mau kayak taun kemaren!! Masa ultah cuma ditraktir es krim abang-abang, es nung-nung, makannya di pinggir jalan sambil nunggu bis lagi. Huh!
Mail sent to: Bina-tank.
Hp ku berdering singkat.
1 Unread Message from Bina-tank.
Read.
Ra, bsk gw tggu lo di FudCort biasa.ok!
Reply
Mau apa lo, tumben! Tp klo lo mau nraktir gw dsitu, ogah! Yg lebih elit dkit donk.
Message Delievered
Open
Gila lo. Matre! Udah, dtg aja jm11. Bawell!
Uhh.. Bina mulai sarcasm jg lama-lama.
Kenapa yah, kadang Bina tuh tampak tiba-tiba misterius. Suka jadi serem aja gue, kalau dia bertingkah nggak kayak biasanya. Sekarang kok perasaan gue jadi nggak enak gini yah? Yang penting buat gue sih ketemu dia, kangen banget gila, lama nggak ketemu Bina. Kangen denger curhatan dia aja kali ya!
***
Trekk. Trekk..
Jemariku tak berhenti bermain di atas meja. Menari-nari, berlari, bahkan sampai kesal ingin memukul-mukul meja karena Abin tak kunjung datang. Lima belas menit. Dua puluh lima menit. Satu jam... dua jam.
“Dalam hitungan ke-sepuluh nggak dateng juga, gue per...” aku berkata pada diriku sendiri.
“Sorry...” sambil tergesa-gesa Abin datang. Ia berucap ma’af dari balik kaca Food Court karena sudah melihatku dari luar. Aku hanya mengikuti gerak langkahnya hingga masuk ke dalam dan berdiri di depanku dengan wajah bersalah.
“Sorry, ya Ra...” Apa? Udah telat berjam-jam, cuma minta ma’af gitu?
Diam.
“Ra, gue nggak niat ngerjain lo! Tadi ada sedikit halangan di jalan.”
“Liat tuh, gue udah ngabisin dua gelas Latte. Lo tinggal bayar!” aku meraih tas-ku dan berniat berlalu keluar. Sebelum Abin dengan cepat meraih tanganku lebih dulu.
“Ra. Kenapa lo jadi minum Latte sampe dua gelas gitu?”
“Lo keberatan bayarin gue dua gelas Latte? Lo yang ngajak gue kesini, lo yang bikin gue nunggu lama, dan biasanya juga gue bayar sendiri, sekarang lo keberatan bayarin gue DUA GELAS LATTE?” ucapku kesal menahan suara setengah berbisik sembari menekan kata-kata terakhirku.
“Bukan itu maksud gue. Lo sampe minum Latte karena lo bener-bener kesel ya sama gue?” jawabnya tenang.
Berlalu kutinggalkan Abin.
Gue nggak nyangka, setelah sekian minggu nggak ketemu dia. Tiba-tiba dia kirim e-mail “Ma’af” yang bikin perasaan gue nggak enak. Dia ngajak gue ketemuan tanpa tau mau ngapain. Gue udah seneng, tapi dia bikin gue nunggu super lama banget. Udah tau gue paling nggak suka nunggu dan sendirian! Sekarang dia malah... sumpah, gue kesel banget sama Abin!
Abin mengejarku dari belakang. Aku pun tak mengerti kenapa aku sampai sekesal ini, bahkan aku tak mau menoleh ke belakang. Abin meraih dan menggenggam tanganku, tapi langsung kutampik.
“Bina diem deh, malu!”
Abin menyejajari langkahku di samping kiri. Seperti biasa, ia selalu berada di sisi kiriku.
Keluar dari Mall aku langsung berbelok, berjalan menyusuri jalan di sepanjang etalase toko seperti biasanya yang kami lakukan. Tapi kali ini dengan rasa yang berbeda. Hatiku pias.
”Nara!” Abin menarik lenganku, membuatku berhadapan dengannya tepat di depan toko FAMECO women dress and accesories. Namun kini aku membelakangi kaca etalase yang masih memajang manekin berbaju renang itu sementara manekin di sisi kanannya sudah berganti gaun pengantin berwarna emas.
Abin menatapku dalam, meski aku menunduk terus. Hatiku masih pias, semakin pias.
“Gue jelasin...”
“Nggak perlu.” Jawabku cepat.
“Nggak perlu? Sementara sikap lo jadi berubah dingin gini ke gue? Jangan childish, Ra.”
Apa? Dia bilang gue childish? Kenapa jadi dia yang marah ke gue, sampe bilang gue childish. Baru kali ini. Apa-apaan Abin. Air mataku meleleh, miss my melted chocovanilla.
“Ra?”
Sekali lagi Abin menggenggam tanganku. Tapi aku risih dan kesal. Kulepas genggamannya.
“Ra, kenapa setiap kali gue pegang tangan lo, lo jadi grogi gitu?”
“Lo anggep gue siapa, Ra? Gue masih Abin, sahabat lo!”
Aku masih diam, tak bisa menjawab.
Ada apa dengan Nara? Jangan-jangan dia bisa baca sikap gue. Jangan-jangan dia tahu isi hati gue.
“Gue cuma mau kasih ini buat lo.” Ucapku masih sambil menunduk. Kuraih tangan Abin, kemudian kuletakkan kotak silver itu dalam genggamannya.
“Lo masih males liat muka gue ya?”
Bukan Bin...
“Apaan ini, Ra?”
“Bukan apa-apa.”
“Ok. Apapun ini, thanks banget Ra. Ini pasti bakalan jadi kado spesial di ultah gue tahun ini. Ma’afin gue ya. Dan sebelum gue buka hadiah dari lo, gue juga mau kasih sesuatu buat lo.” Kini Abin melakukannya padaku, membuka tanganku dan meletakkan kotak kecilnya di atas tanganku.
“Buka Ra...”
Aneh melihat wajahku yang terus menunduk. Abin seketika mengangkat wajahku menghadapnya.
“Lo nangis, Ra?”
Aku menghindari tatapannya, hatiku semakin pias lagi melihat reaksi Abin yang jadi diam dan murung. Sekali lagi Abin mengangkat wajahku, dan kemudian menarikku dalam pelukannya. Kini hatiku semakin merapuh, seluruh rasa berbaur menjadi satu.
“Kenapa selama ini kalau gue coba pegang tangan lo, lo grogi dan berubah Ra? Lo nggak takut sama gue kan? Lo boleh benci dengan bokap lo, tapi nggak semua cowok kayak gitu. Ini gue Ra, sahabat lo sendiri selama bertahun-tahun. Kita kenal udah lama. Lo tau siapa gue, kan?”
“Ma’afin gue, Bin.” Aku masih terisak.
“Lo nggak perlu minta ma’af. Sekarang, tolong lo buka kotak di tangan lo itu.”
Abin merenggangkan pelukannya, memberiku ruang untuk membuka kotak berbentuk bunga itu. Kubuka tutupnya, di dalamnya ada dua buah boneka dari clay sedang duduk berdampingan, di hadapan mereka ada sebuah tulisan “I Love U, Ra.”
Aku seperti menelan sesuatu. Sejenak ada yang bergemuruh di jantungku. Hatiku luruh. Tapi, aku langsung tersadar kalau ini hanya arti sebuah persahabatan.
“Loving me. You love our friendship, right Bin?”
I love you, Ra...
“Gue sayang Lo.” Kata-kata itu keluar dari mulutnya. Kenapa jadi begini? Kenapa Abin seserius ini di depan gue? Selama ini dia hanya serius di hadapan ‘wanita’nya. And she is her, not me.
Kutatap mata Abin memastikan. “Ini boneka persahabatan kita, Bin?”
Abin menarik nafas panjang, “Ra, gue minta ma’af ya. Tadi sebenernya gue udah nyampe sini, di jalan menuju Food Court itu gue baru sadar kalau kotak ini ketinggalan. Gue periksa di mobil nggak ada, rupanya masih ketinggalan di kamar. Gue buru-buru balik lagi. Ngambil kotak itu ke kamar dan waktu di perjalan balik kesini, gue mau sms lo tapi pas itu juga hp gue lowbat. Good. Perfect! Kondisinya udah kayak gitu, gue nggak bisa apa-apa lagi.”
“Tapi kan hari ini ultah lo, kenapa lo yang sibuk kasih gue hadiah?”
Abin menarik nafas sebentar, dan melanjutkan.
“Barang itu penting, karena mau gue kasih buat lo. That’s why the reason i asked you to come. Dan isi kotak itu...” Abin berhenti sejenak seperti mempersiapkan sesuatu di hatinya. Hatiku jadi takut.
“Isi hati gue.”
Aku mengangkat wajah menatap ke arahnya, melihat ke dalam hatinya. Aku tak bisa menahan semuanya, aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Entah sejak kapan hatiku merasakannya. Meski ini tak mungkin, tapi aku pun telah jatuh cinta pada sahabatku sendiri. Satu pertanyaan terpenting,
“Tiara, Bin?”
“Ini tentang kita, Ra. Nara dan Bina. Bukan Tiara. Well, gue udah salah selama ini, sia-siain waktu buat nunggu orang yang bukan buat gue. Sementara orang yang ada di sisi gue nggak pernah terlihat karena gue nggak menyadarinya.’ Tong sampah’ gue. Itu kan Ra yang lo rasa selama ini? ‘Biasa lah Bin, gue kan tong sampah lo’.” Bina menirukan kata-kataku dulu pada suatu sesi curhat.
“Kadang cowok memang hanya membutuhkan waktu untuk tahu perasaannya sendiri. Sejauh apa ia harus bertahan buat ‘wanita’nya.” Tambah Abin.
Aku masih menatapnya, menunggu sesuatu.
“Gue sayang lo, Ra. As a man to his girl. As a Poet to the words. NOT as a trash to the Rubbish Bin, which is always need a trash for live. Hehe. Ok, gue yang butuh tong sampah selama ini.”
Bina membuka sesuatu, dan mengarahkannya ke mulutku.
“Buka mulut lo.”
“Apaan tuh, Bin? Lo mau ngeracunin gue!”
“Permen Vanilla Mint bentuk hati.” Lalu ia menggenggam tanganku dan membawaku berjalan menyusuri etalase-etalase.
“Bin, sekarang lo buka dong kotak dari gue.”
“Oya. Kok kotaknya kayak kotak jam yang buat Afrian? Gue lihat kotak itu waktu Afrian buka hadiahnya.”
“Iya, waktu itu gue beli dua. Yang satu buat Afrian. Sedangkan yang hitam ini special for you. Sini, biar gue pakein.”
“Ra.”
Kemudian, setangkai Krisan kuning tiba-tiba ada di hadapanku, ketika sore tinggal sepotong.
“I love you, my Chocovanilla.”
Written : Rifa' Aulia Insani. Novel ini saya ambil dari web threeinone karena saya termasuk Adminnya dan Web ini kurang dapet perhatian dari para Admin.he jadi saya pindahkan ke blog saya,,
1 komentar:
Wuii.. bagus iaa...
Post a Comment